Riza Toni Siahaan (Koordinator Perhimpunan Anak Bangsa Sumatera Selatan)
Demokrasi dianggap sebagai satu temuan manusia yang dianggap paling sedikit menistakan manusia. Karena sistem ini menjadi satu sistem yang menempatkan orang-orang atau orang banyak sebagai pengambil keputusan tertinggi. Turunan teknisnya adalah bagaimana suara orang banyak ini, dirancang dalam konteks waktu dan individu sebagai satu sistem yang ketika diakumulatifkan menjadi representasi resmi dari keterwakilan orang orang, satu sistem yang dirancang dalam bungkusan cantik yang diberi label pemilihan umum (Pemilu).
Dalam hal ini, orang-orang dalam perspektif sistem politik dianggap menerima keputusan kelompok-kelompok kepentingan dalam selubung demokrasi sebagai satu keharusan dan kepatuhan yang mengikat dan pasti. Pemilu dalam tanda kutip akhirnya menjadi satu narasi penting kepentingan kelompok-kelompok untuk dapat mewujudkan kepentingan orang banyak tadi. Lantas bagaimana publik membaca pemilu sebagai satu jalan konstitusional menentukan keterwakilan orang banyak ini?
Seperti dikutip dari dalam Hidayati (2023), Demokrasi Yang Berkeadilan di Indonesia, dalam dialektikanya pemilu ini melahirkan sejarah kepemimpinan dalam arus reformasi pasca Presiden Suharto mengundurkan diri pada tahun 1998. Di mana dalam perjalanannya hari ini, semua kelompok sedang mempersiapkan diri untuk membangun kesepakatan baru pada pemilihan umum 2024 nanti.
Narasi ‘Tai Chi Politik Jokowi’ yang menjadi sudut pandang tulisan ini tentu tidak sedang menjadikan Jokowi sebagai guru atau ‘suhu’ politik Indonesia. Namun sedang memotret bagaimana riang gembiranya Jokowi berada dalam dunia ‘kangouw’ politik Indonesia. Jokowi terlihat begitu santai memainkan jurus-jurus dasar yang akhirnya justru dalam perjalanan permainan tersebut, ia mampu menggunakan jurus-jurus dasar ini sebagai pondasi utama dalam tai chi politiknya.
Tai chi sendiri menurut literasi Wikipedia merupakan istilah mendunia dari Taijiquan, yaitu satu seni bentuk bela diri dan senam dari Tiongkok. Tai chi terbagi menjadi berbagai ‘gaya’ yang pada dasarnya berasal dari satu akar dan konsep dasarnya hampir sama, namun bentuk gerakannya berbeda-beda, sehingga menambah khazanah pengetahuan para pecinta tai chi.
Jokowi sebagai seorang pelaku politik menggunakan langkah-langkah sederhana yang mirip dengan langkah tai chi sebagai poros sederhana dalam seni politiknya. Sejarah pengembangan tai chi yang juga mengalami pembaruan hampir mirip dengan pergerakan politik Jokowi. Pengembangan-pengembangan langkah langkah politik Jokowi tidak keluar dari pakem sejarah pergerakan dan tujuan kemerdekaan Indonesia.
Hampir semua narasi politik pembangunan yang dilakukan Jokowi diusahakan sedekat mungkin dengan ide-ide besar dari para pemimpin negeri ini. pemindahan ibukota yang dikenal dengan Ibu Kota Nusantara (IKN), pembangunan jalan tol di Indonesia, pengembangan teknologi dan inovasi riset di Indonesia, dan pluralisme kepemimpinan pada lembaga pemerintahan, menunjukkan gerak sejarah selalu menjadi modal analisis langkah politik Presiden Indonesia ke tujuh ini.
Tai Chi dalam gerak politik Jokowi menjadi satu jurus riang gembira tanpa beban, kesadaran penuh terhadap kekuatan dalam sunyi menjadi modal penting dalam putaran momentum kesabaran revolusioner Jokowi. Pengaturan tapak langkah politik jokowi mampu membuat sunyi tanpa tepuk tangan seluruh yang menyaksikan. Putaran keputusan dari gerak sunyi ini bahkan hanya menyisakan satu bayangan di ujung ekor mata baik bagi para pendukung atau pembenci Jokowi. Pusaran keputusan Jokowi merupakan catatan penting terhadap penguasaan terhadap dialektika sejarah.
Sejarah terpenting dalam kehidupan demokrasi bahwa hukum adalah panglima merupakan sumber utama dansa politik Jokowi. Akhirnya pada siapa Jokowi melihat sejarah itulah yang menjadi pantulan cermin politik masa depan. Pengulangan kepemimpinan strategis Indonesia masa depan adalah kata kunci dalam kerasnya permainan politik Jokowi akhir-akhir ini. Pada siapa kepemimpinan strategis dan pantulan cermin sejarah politik yang penting bagi Jokowi? Sederhana saja jawabannya, pada Basuki Tjahaja Purnama.