Oleh: Agus Guntoro
(Ketua: SHK Lestari)
Ketika berbicara Desa atau Pedesaan dalam pikiran kita, akan tergambar sebuah situasi sosial yang harmonis dan homogen, dimana semangat kolektifitas yang melekat serta menjunjung tinggi kepentingan bersama. Gambaran suatu kehidupan dengan relasi sosialnya yang egaliter tanpa ada perbedaan sosial-ekonomi, masihkah seperti itukah imajinasi kita terhadap Desa hari ini…?
Jika melihat ke belakang mengenai sejarah pengaturan desa, terhitung sejak kemerdekaan Negara Republik Indonesia hingga saat ini telah dilahirkan tiga undang undang yang mengatur khusus tentang desa. Pertama UU No.19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terbentuknya Daerah Tingkat III. Kedua UU No.5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, dan Ketiga Undang Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa atau Undang Undang Desa, dan UU Desa sendiri merupakan Undang Undang terahir yang paling revolusioner karena membawa optimisme besar bagi perubahan yang fundamental dalam semua aspek kehidupan Desa Desa yang ada di Indnesia.
Cita cita pembaharuan dari Undang Undang Desa dimensinya mencakup masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat pedesaan. Bertenaga Secara Sosial, Mandiri Secara Ekonomi, Bermartabat Secara Budaya, dan Berdaulat Secara Politik adalah cita cita ideal dari Undang Undang Yang dilahirkan oleh Pemerintahan SBY. Cita cita mandiri secara ekonomi adalah menunjukan wacana kemandirian desa untuk kedaulatan pangan dan otonom desa dalam mengelola sumber sumber agraria. Dalam kontek sosio-politik , bagaimana proses demokratisasi relasi Negara-desa mampu menguat dan menguatkan peran masyarakat dalam terlibat dan memimpin pembangunan desanya sendiri. Dalam wacana budaya dan adat istiadat desa/pedesaan, UU Desa mengakui hak asal usul desa melalui prinsip rekognisi, dari prinsip ini adalah pengakuan kepada desa – desa adat dalam mengatur dan menjalankan pemerintahanya. Proses perubahan fundamental yang diharapkan tentunya tetap memperhatikan dan mengarusutamakan kelompok miskin dan marjinal pedesaan .
Krisis (sosial-ekonomi dan Politik)sebagai persoalan mendasar dipedesaan, menurunya kapasitas sosial-ekonomi dan ekologi di pedesaan untuk menyediakan pangan, air, energy dan sumber penghasilan dan perlindungan sosial bagi warga desa, akibat dari kegiatan pembangunan yang ektraktif dan dijadikan desa sebagai arena berbagai kegiatan yang dilakukan kaum urban (Supra Desa & Perkotaan). Narasi ini yang kemudian menengarai diterbitkanya Undang Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa, kendatipun Undang Undang Desa sebagai terobosan politik mampu menggulirkan demokratisasi relasi Negara-desa namun belum memberikan mandat yang cukup besar dalam isu pengelolaan sumber daya alam.
Monopoli kekayaan agraria di pedesaan sudah cukup banyak terjadi hampir di semua wilayah ruang hidup NKRI, sehingga hari ini yang terjadi dan kita lihat adalah Ketimpangan struktur penguasaan sumber sumber agraria. Sempitnya ruang hidup dan wilayah kelola rakyat pedesaan diperparah dengan ancaman alih fungsi lahan dari rezim industrialisasi agrarian, wajah kebijakan pertanian yang pro pasar, input produksi yang makin menggila. Berkurangnya daya dukung alam akibat krisis sosio-ekologi serta ancaman lain yang lapisanya berasal dari ruang ruang lokal seperti ketergantungan berat para petani di desa dengan tengkulak.
Permasalaha struktural dan ekologi yang hari ini mewarnai kehidupan di pedesaan seperti yang dipaparkan diatas, menurunya kapasitas sosial-ekonomi dan ekologi secara langsung berdampak pada kebutuhan mendasar seperti pangan, energy, air bersih dan sumber sumber nafkah untuk kehidupan keluarga serta perlindungan sosial-ekologi yang menghargai dan menjunjung prinsip kesetaraan dan keadilan. Jika pada awalnya pemberlakuan Undang-Undang Desa sebagai terobosan politik yang memberikan kewenangan besar kepada desa untuk mengatur dan mengelola dirinya sendiri , maka kemudian menjadi pertanyaan adalah sejauh mana desa secara otonom untuk mengurus sumber sumber agrarianya ? Apakah Undang Undang Desa mampu melindungi desa desa dari ancaman krisis sosial-ekologi yang makin merangsek ruang ruang produksi rakyat di pedesaan, maka kemudian pertanyaan kritis yang mendasar “apakah isu sumber daya alam merupakan agenda utama Undang Undang Desa”?***