Oleh: Calid Saifullah (*)
Pengalaman selama tiga periode di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Rejang Lebong dan satu periode di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Bengkulu menjadi perjalanan pembelajaran yang menarik bagi saya dalam proses politik dalam Pemilihan Umum (Pemilu) dan berdemokrasi.
Merefleksi Pemilu 2014 dan juga Pemilu 2019, aplikasi Situng yang diperkenalkan KPU dan dengan upload C1 adalah salah titik awal KPU membangun transparansi publik terhadap hasil pemilu yang bisa di akses semua orang baik peserta pemilu dan masyarakat.
Walau lebih agak rumit dan repot tetapi KPU mendapatkan kepercayaan publik yang cukup luas, bahwa hasil Pemili bisa terawasi oleh publik.
Pengalaman pada beberapa penyelenggara Pemilu di tingkat kecamatan yang nekat merubah data rekapitulasi penghitungan suara, maka KPU Kabupaten/Kota dapat langsung melakukan kontrol sebelum PPK melakukan pleno dengan fungsi supervisinya, hingga ada beberapa PPK yang terpaksa dipidanakan.
Hal di atas adalah penguatan kelembagaan KPU dalam menjaga integritas kelembagaan yang transpransi, akuntabel, dan berhasil menyakinkan publik terhadap kinerja kelembagaan KPU terkhusus kabupaten/kota dan untuk Pemilu 2024 KPU merubah dengan aplikasi Sirekap.
KPU saat sosialisasi dan launching aplikasi Sirekap menyakinkan dan dengan percaya diri, hingga disambut gembira oleh peserta pemilu dan publik yang berharap akan bisa dengan cepat mendapat akses informasi yang valid hasil rekapitulasi Pemilu 2024 nantinya.
Dalam faktanya Sirekap di hari pertama tanggal 14 Februari 2024 penghitungannya sampai tanggal 17 Februari 2024 masih belum ada data tampilannya secara maksimal. Mulai 18 Februari 2024 tahapan PPK akan di mulai rekapitulasi hasil pemilu di beberapa kecamatan dan naifnya aplikasi Sirekao masih “tertidur pulas”.
Beberapa kendala partai politik yang mempunyai dinamika internal dan apalagi tidak punya saksi yang lengkap di setiap TPS ditambah lagi partai juga tidak ada tabulasi internal membuat para caleg galau.
Apalagi publik yang ingin mengetahui apakah wakilnya yang diharapkan mereka terpilih atau tidak. Publik bingung kemana untuk mendapatkan akses data.
Sirekap digaungkan dengan propaganda “tidak melek teknologi di era digitalisasi” sebagai suatu keniscayaan. Tetapi ketika digitalisasi dalam perebutan kekuasaan dalam arena politik, tetap juga hanya dijadikan komiditi isu “transparansi publik” yang membuat orang dipencundangi oleh aplikasi Sirekap yang dengan alasan “down”.
Kita prihatin dengan terkurasnya pikiran energi KPPS, PPK, dan KPU kabupaten/kota, yang juga melakukan rekap dengan semi manual dan harus menunggu dengan sabar data rekap “merayap perlahan” dari KPPS ke PPK, dan KPU kabupaten/kota sesuai tahapannya. Padahal mereka berharap penuh dengan aplikasi untuk mempercepat pekerjaan rekapitulasi.
(*) Direktur Harapan Berdama Rafflesia, Lembaga Advokasi Hukum Pemilu dan Konsultan Politik.