Oleh: Devi Rami Utami (Kabid Perempuan dan Anak LBH Narendradhipa)
Kejahatan yang sangat marak terjadi dalam lingkungan remaja adalah bullying. Salah satu tindak kejahatan terhadap anak ini terjadi di Kota Bengkulu dan menimpa tindak seorang pelajar SMA Kota Bengkulu berinisial AR yang dianiaya 7 orang teman sekolahnya.
Bullying identik dengan tindakan kekerasan terhadap anak yang terjadi di sekolah. Tindakan bullying yang dapat dilakukan oleh pelaku sangatlah beragam mulai dari bullying verbal, bullying fisik, sampai dengan bullying melalui perkembangan teknologi atau cyber bullying.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Pasal 1 angka 1 memberikan batasan usia anak yakni seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Isi pasal itu menyatakan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Perlindungan terhadap anak dari kekerasan telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (2) yang menyatakan bahwa ‘Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi’.
Pada kasus tindak pidana bullying, dititikberatkan pada pasal yang erat kaitannya dengan kekerasan, apabila dilanggar memiliki konsekuensi yang tercantum dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang berbunyi :
- Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
- Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
UU Perlindungan Anak juga memiliki aspek perdata yaitu diberikannya hak kepada anak korban kekerasan (bullying) untuk menuntut ganti rugi materil/immateril terhadap pelaku kekerasan. Hal ini diatur dalam Pasal 71D ayat (1) Jo Pasal 59 ayat (2) huruf i UU 35/2014 sebagai di bawah ini:
- Pasal 71D ayat (1) UU 35/2014:
Setiap Anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.
- Pasal 59 ayat (2) huruf i UU 35/2014:
Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis. Atas perbuatan melawan hukum ini dapat dilakukan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi kepada pelaku kekerasan atas dasar telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum menggunakan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi, ‘Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut’.
Maka jika dilihat dari sudut padang Undang-Undang Perlindungan Anak dapat disimpulkan bahwa tindak kekerasan (bullying) terhadap anak memiliki dua sanksi yaitu hukum pidana dan hukum perdata.
Mencegah kekerasan (bullying) terhadap anak menjadi tanggungjawab bersama baik orang tua, tenaga pengajar, pemerintah dan masyarakat sesuai dengan perannya masing-masing, guna melindungi dan menjamin setiap hak-hak yang dimiliki anak.
Lembaga-lembaga bantuan hukum sebagai organisasi non-pemerintah juga diharapkan untuk turut serta melakukan pencegahan tindak kekerasan (bullying) sedini mungkin, serta mengajak seluruh elemen untuk berkontribusi terhadap pencegahan tindak kekerasan (bullying) yang akan berdampak buruk terhadap regenerasi bangsa karena psikis korban bullying akan sulit sembuh.
Jadi jika ada yang melihat, merasakan dan mengalami perihal kekerasan terhadap anak segera melakukan tindakan hukum.
Dengan demikian, organisasi non-pemerintah di Indonesia juga diharapkan mampu mendampingi korban tindak kekerasan (bullying) baik secara litigasi maupun non litigasi.