Oleh : M. Syarif Abadi (Koordinator Indonesia Kopi Movement)
Dalam Kerangka Kerja PBB, perubahan iklim mengacu pada perubahan yang dikaitkan secara langsung atau tidak langsung pada kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer global. Pengertian itu tidak terkait dengan variabilitas iklim alami yang diamati selama periode waktu tertentu.
Sedangkan pengertian pemanasan global mengacu pada fenomena meningkatnya suhu rata-rata global dekat permukaan Bumi. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca pada lapisan atmosfer. Pemanasan global menyebabkan pola iklim berubah. Namun, pemanasan global hanya mewakili satu aspek dari fenomena perubahan iklim.
Bukti terjadinya perubahan iklim telah jelas. Meningkatnya suhu global disertai perubahan cuaca juga iklim. Banyak tempat perubahan curah hujan.
Hal ini mengakibatkan banjir lebih besar, kekeringan, hujan yang intens, gelombang panas lebih sering, bahkan lebih parah menyebabkan korban jiwa. Lautan, gletser telah mengalami beberapa perubahan besar. Suhu laut makin panas, laut menjadi lebih asam, puncak gunung es mencair, kenaikan permukaan air laut menyebabkan beberapa pulau menghilang, tenggelam dan meningkat.
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang No 16 Tahun 2016 Tentang Ratifikasi Perjanjian Paris. Pemerintah Indonesia dengan 9 (sembilan) aksi prioritas pembangunan nasional yang dituangkan melalui Nawa Cita merupakan komitmen nasional menuju arah pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim, dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebagai satu prioritas yang terintegrasi dan lintas-sektoral dalam agenda pembangunan nasional.
Komitmen yang tertuang dalam Nawa Cita menjadi dasar bagi penyusunan dokumen the First Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang telah disampaikan Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada bulan November 2016. First NDC Indonesia menguraikan transisi Indonesia menuju masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim.
Dalam rangka mencapai tujuan persetujuan paris, kontribusi nasional terhadap upaya global yang dituangkan dalam Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional, semua negara pihak melaksanakan dan mengomunikasikan upaya ambisiusnya dan menunjukkan kemajuan dari waktu ke waktu, yang terkait dengan kontribusi yang ditetapkan secara nasional (mitigasi), adaptasi, dan dukungan pendanaan, teknologi dan pengembangan kapasitas bagi negara berkembang oleh negara maju.
Perubahan iklim diyakini berpengaruh pada masa depan budidaya kopi di Indonesia. Alasannya, kopi adalah tanaman yang sangat bergantung pada suhu dan pola curah hujan. Berubahnya iklim, seperti curah hujan yang tidak teratur, terjadinya kenaikan suhu, kekeringan dan badai yang terjadi, dapat mengganggu pertumbuhan tanaman kopi. Ditambah lagi, kopi di Indonesia sudah tergolong tua, banyaknya persebaran hama dan penyakit, juga praktik bertani yang tak lagi sesuai, membuat keberlanjutannya akan terganggu oleh perubahan alam tersebut.
Mengacu analisis yang dilakukan Yayasan IDH bersama Conservation International, Global Coffee Platform, HRNS Coffee Climate Initiative dan Specialty Coffee Association tahun 2019, dampak perubahan iklim terhadap sektor kopi mulai kelihatan tanda-tandanya. Terutama di 15 negara yang mewakili 90% produksi kopi global di Amerika, Afrika, dan Asia; termasuk Indonesia.
Banyak dari area penanaman kopi potensial saat ini dan masa depan terletak di lahan hutan yang ditunjuk. Oleh karena itu, potensi pemindahan budidaya kopi ke tempat
yang lebih tinggi dapat menjadi pendorong deforestasi di masa depan. Kebijakan pemerintah memainkan peran penting dalam memandu relokasi pertanian kopi ke daerah yang sesuai. Program Perhutanan Sosial berpotensi untuk mendukung proses ini.
Perhutanan sosial, umumnya dikenal sebagai perhutanan masyarakat, didirikan di Indonesia pada tahun 1999. Namun, hanya dengan dimulainya Program Perhutanan Sosial pada tahun 2016, perhutanan masyarakat menjadi benar-benar penting di Indonesia. Dalam rangka program tersebut, Pemerintah Indonesia bermaksud untuk mengalokasikan 12,7 juta hektar lahan kepada masyarakat. Tujuan penting dari program ini adalah untuk mengurangi deforestasi dan membalikkan degradasi lahan.
Tanah dapat dialokasikan untuk seluruh masyarakat, kelompok masyarakat atau koperasi, atau keluarga individu. Sistem pengelolaan agroforestri dapat diterapkan pada lahan yang diklasifikasikan sebagai hutan produksi (yang seringkali merupakan hutan yang terdegradasi berat atau terdeforestasi). Sistem wanatani tersebut harus mencakup minimal 400 pohon kayu atau pohon buah-buahan asli per hektar.
Masyarakat memutuskan bersama dengan pihak berwenang bagaimana mengelola lahan yang dialokasikan, yaitu di mana untuk memulihkan dan melindungi hutan, dan di mana harus menetapkan fokus pada produksi. Sektor swasta dapat bermitra dengan masyarakat dan kelompok, mendukung mereka untuk menerapkan sistem produksi yang berkelanjutan.
Kopi sudah menjadi bagian dari program kehutanan berbasis masyarakat di Indonesia. Pengalaman dari skema perhutanan sosial yang dimulai sebelum tahun 2016 menunjukkan bahwa masyarakat dan rumah tangga mampu meningkatkan
pendapatan dan ketahanan pangan mereka, serta meningkatkan investasi mereka dalam rehabilitasi lahan.
Terhadap semua deskripsi di atas, harus dilakukan upaya-upaya untuk mengembalikan kedaulatan kopi Indonesia dimata dunia. Upaya-upaya itu bisa didorong dengan mendorong perkebunan kopi rakyat diseluruh wilayah Perhutanan Sosial dengan tema Kopi Konservasi (agroforestry).
Selain itu, upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan ecomapping agroforestry product dengan melakukan penguatan produk dan distribusi.
Banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk mendorong kedaulatan kopi dan kesejahteraan petani kopi Indonesia. Sampai kesejahteraan itu benar-benar terwujud tanpa harus mengorbankan keseimbangan alam.
Semoga.