Lebong, kabarindonesia.co
Pagi yang tepat jatuh di Jum’at pertama, tepatnya 1 Maret 2024, mulai terang, Dezon Sanjaya (33) warga Desa Semlako Atas, Kecamatan Lebong Tengah, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu ini mulai memanaskan sepeda motor yang dirancang untuk jalanan penuh tanjakan menuju kebun.
Dezon lalu bergegas membantu anak laki-lakinya Alkhalifi (10) yang duduk di kelas empat Sekolah Dasar (SD) berangkat menuju sekolah yang berjarak sekitar 7 Km ke arah utara rumah mereka.
Seusai mengantarkan Akhafili, Dezon kembali ke rumah, menyiapkan bekal makan siang dan peralatan kebun. Di pintu rumah, Endah (30) perempuan yang ia nikahi 13 tahun yang lalu dan anak perempuan mereka yang masih balita, berdiri melepas Dezon menuju kebun.
Dengan sepeda motor kebunnya, Dezon harus melewati jalan tebing dan kadang berlumpur selama 45 menit walau jaraknya hanya 3 Km. Masyarakat setempat menamakan Turan Inggip atau kaki Gunung Tebo Lai yang merupakan gugusan Hutan Bukit Daun.
“Wilayah Hutan Bukit Daun memang terkenal subur,” kata Dezon sambil memegang salah satu tangkai ranting kopi miliknya.
Kawasan yang terletak di bagian atas kawasan Tebo Lai tersebut, di ketinggiannya, terdapat lebih dari empat danau yang ratusan tahun lalu merupakan bekas kawah gunung berapi. Kawasan tersebut telah lama dibuka menjadi ladang kopi oleh masyarakat Lebong, terutama mereka yang tinggal sekitar Desa Semlako dan Danau Liang.
“Saya dari tahun 2017, waktu itu saya umur 33 tahun, dan sejak itu saya memutuskan bertaruh hidup di kebun kopi,” uangkap Dezon.
Dari pengakuannya, Dezon mengutarakan jika ketika itu kebun kopi milik keluarganya tidak terawat oleh orang yang menjaga kebun. Lalu perlahan tanah dan tanaman kopi dipulihkan.
Masuk tahun kedua berkebun, Dezon mulai mengorganisir para petani sekitar, untuk bersama-sama belajar panen kopi petik merah.
“Dengan metode petik merah, saya dan petani lainnya bisa bernegosiasi harga hingga mulai membangun jaringan pemasaran sendiri, walau baru partai yang masih terbatas atau kecil,” kata Dezon.
Para petani juga mulai dikenali praktek budidaya menyambung batang kopi dengan klon tunas muda kopi terbaik setempat. Sekarang kopi sambung mereka telah menghasilkan. Menurut mereka dengan kopi sambung produksi buah lebih banyak dan perawatan batang dan lahan lebih mudah.
“Saya dan keluarga mulai merintis penjualan kopi bubuk dengan merek dagang Kopi Tebo Lai yang hampir tiga tahun ini berproduksi untuk kebutuhan pasar lokal,” ujar Dezon.
Dirumahnya, Dezon memiliki mesin sangrai atau roasting autometic berkapasitas 10 Kg. Pada ruang sebelah terdapat mesin penggiling bubuk kopi dan lemari etalase kemasan bubuk kopi. Dalam etalase pengunjung dan pembeli bisa memilih ukuran 100 gram, 250 dan 500 gram. Juga terdapat green been sampel biji kopi yang dimiliki saat ini.
“Saya jatuh bangun dalam membangun kebun kopi dan mengorganisir para petani kopi. Sampai sekarang sudah lima tahun,” kenang Dezon.
Menurut bapak dua anak ini, tantangan tersulit ketika menghadapi perubahan cuaca yang ekstrim. Misalnya tahun lalu musim kemarau agak panjang lalu mengalami hujan yang terus menerus lebih dari tiga minggu. Perubahan ekstrim membuat bunga atau calon buah banyak mengering lalu membusuk.
Kelompok tani Dezon kini lagi sedang belajar memahami kandungan dan kebutuhan nutrisi tanaman kopi dari pupuk organik yang sangat mungkin diproduksi berkelompok.
Melalui diskusi-diakusi kecil dengan teman-teman pekebun kopi wilayah lain, Dezon mencoba membangun komunitas petani kopi muda Lebong.
“Penguatan kapasitas dan membuka jaringan pasar tentu jadi tujuan kami (petani kopi) bersama ke depan,” terang Dezon.
Dezon menuturkan, ia dan kelompoknya bertahap membangun identitas perlindungan indikasi geografis kopi Lebong yang penting untuk meningkatkan kualitas jaminan kopi Lebong ke depan.
“Kami (petani kopi) harus kerja keras dan melawan cengkeraman pemain monopoli kopi dan pasti terus jadi ujian pembelajaran,” teguh Dezon.
N. Sastro