Bengkulu, Kabar Indonesia.co
Sejak proses penetapan peserta Pemilu 14 Desember 2022 hingga 24 Januari 2024, dalam sistem data base Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Bengkulu hanya tercatat 10 kasus yang terdiri atas 5 kasus hukum, 2 kasus etik, dan 3 kasus bukan hukum.
Angka pelanggaran di atas jauh lebih rendah dibandingkan jumlah pelanggaran pada pemilu 2019 lalu.
Untuk pemilu 2019, dalam laporan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Provinsi Bengkulu, tercatat 31 kasus dugaan pelanggaran, 51 kasus rekomendasi pelimpahan temuan.
Menurut Ahmad Wali, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Bengkulu (UNIB) yang sempat terlibat di Presidium Bidang Pendidikan Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP) dan pernah menjadi komisioner di Panwaslu Kabupaten Lebong menyampaikan kalau saat ini tingkat partisipasi semakin menurun.
“Masyarakat jenuh dan tak peduli melihat proses pemilu banyak yang dipaksakan. Mulai dari kisruh di Mahkamah Konstitusi (MK), proses mobilisasi, dan tindakan tidak netralnya aparatur negara semakin diperlihatkan,” kata Ahmad Wali.
Ahmad Wali menilai, gerakan kemarahan dan sikap keprihatinan muncul dalam satu bulan terakhir dari banyak kampus dan kelompok masyarakat.
“Gerakan ini tumbuh menjelang masuk masa tenang pemilu. Kita berharap ini bisa menjadi momentum untuk terlibat dalam pengawasan Pemilu 2024,” harap Ahmad Wali.
Selain itu, menurut pandangan Halid Syaifullah yang pernah menjadi komisioner di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bengkulu periode 2019-2023, juga sebagai komisioner Bawaslu Provinsi Bengkulu, melihat ada banyak hambatan dalam proses menggalang partisipasi pengaduan dan pelaporan Pemilu.
“Mulai dari komitmen yang bekerja dalam penyelenggara, peningkatan sumber daya manusia Gakumdu yang selalu berganti,” kata Halid.
Menurut Halid, dalam proses penegakan hukum pidana pemilu seharusnya dilakukan dengan cepat dan pendekatannya hukum formil tapi sebagian yang dipakai adalah pendekatan materil.
“Ini membuat lamban dan banyak persoalan,” kata Halid lagi.
Dalam tinjauan Halid, seharusnya para petugas pengawas di lapangan semakin sensitif dan membuka diri pada masyarakat dan perguruan tinggi atau kelompok lainnya yang ingin melakukan pemantauan dan pelaporan kasus.
“Dulu ada banyak lembaga dan jaringan kerja untuk pemantauan misal ada Forum Rektor, JPPR, KIPP dan forum-forum jurnalis. Tapi belakangan jaringan kerja ini mulai mengurangi kegiatan pemantauan,” kenang Halid.
Kini, pemantauan hanya dilakukan Bawaslu dengan turunannya sampai tingkat desa.
“Pengawasan akhirnya kehilangan jaringan kerja pemantauan dan lambannya proses penegakan hukum pemilu mendorong tingkat partisipasi semakin berkurang. Bahkan saat ini sudah ada kecenderungan masyarakat semakin banyak terlibat pelanggaran bersama parpol atau jaringan tim sukses caleg,” ujar Halid.
Respon Bawaslu Provinsi Bengkulu
Sementara itu, Kepala Divisi Penanganan Pelanggaran dan Datin Bawaslu Bengkulu, Eko Sugianto mengakui kalau ada penurunan pelaporan secara partisipatif.
Eko juga mengakui jika jaringan kerja pengawasan juga memang berkurang saat ini.
“Untuk membantu pengawasan pihak Bawaslu Provinsi Bengkulu telah bekerja sama dengan pihak perguruan tinggi. Pada pemilu ini, kami telah melakukan MoU dengan Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Pihak mereka (Universitas Muhammadiyah Bengkulu) mengerahkan 500 mahasiswa untuk pulang ke desa melakukan pengawasan,” terang Eko.
Eko juga menyampaikan, ke depan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), akan memperbanyak kerja sama sebagai pintu masuk pengaduan.
“Termasuk melakukan kerjasama dengan pekerja media. Dengan dukungan anggaran daerah ke depan kita bisa lebih banyak melakukan pendidikan pemantauan dan kerja sama,” tegas Eko.
N. Sastro