Jakarta, Kabarindonesia.co
Lebih dari 100 perempuan pembela HAM dari 24 provinsi di Indonesia berkumpul di Jakarta dalam Temu Perempuan Pembela Hak Azasi Manusia (HAM) yang berlangsung selama 2 hari, 6-7 Maret 2024 di Hotel Diraja.
Para perempuan pembela HAM dan lingkungan yang terlibat dalam acara tersebut berasal dari 14 organisasi non-pemerintah (ornop) seperti WALHI, Kemitraan, Greenpeace Indonesia, Solidaritas Perempuan, AKS!, ICEL, KontraS, PBHI, Sawit Watch, KNTI, JATAM, Mama Aleta Fund, TKPT, dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).
Dalam siaran persnya, para perempuan pembela HAM dan lingkungan ini menyampaikan fakta, bahwa Pemerintah serta aparat penegak hukum (APH) di Indonesia masih gagal memberikan perlindungan terhadap perempuan pembela HAM dan pejuang lingkungan.
Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP) sekaligus narahubung acara tersebut, Armayanti Sanusi menyampaikan jika berbagai kebijakan perlindungan HAM tidak dijalankan oleh negara, termasuk mengimplementasikan pasal 66 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
“Dari data yang kami dapat dari WALHI tahun 2024, ditunjukkan dengan sebanyak 1.054 orang yang terdiri dari 1.019 laki-laki, 28 perempuan, dan 11 anak-anak diduga mengalami kriminalisasi akibat memperjuangkan lingkungan. Ini terjadi selama dua periode kepemimpinan Presiden Jokowi,” ungkap Arma.
Disampaikan juga, sejumlah besar kriminalisasi terjadi disektor-sektor agraria, pertambangan, Proyek Strategis Nasional (PSN), proyek energi, dan proyek iklim lainnya.
Selain kriminalisasi, para perempuan pejuang lingkungan juga kerap mengalami intimidasi, serangan fisik, kekerasan verbal, bahkan kekerasan seksual. Sehingga perempuan pembela HAM dan pejuang lingkungan adalah entitas yang paling rentan mengalami ketidakadilan dan kekerasan berlapis dan trauma kolektif.
“Namun celakanya, pasal 66 UU PLH tidak mampu membentengi para pejuang lingkungan, khususnya perempuan pejuang lingkungan,” kata Arma.
Persoalan Dasar UU PLH
Dalam siaran persnya, para perempuan pembela HAM dan pejuang lingkungan juga melihat dua persoalan mendasar mengapa pasal 66 UU PLH tidak operasional.
Pertama, secara substansi terdapat ketidakjelasan beberapa unsur, seperti kejelasan definisi, arah jangkauan, kriteria serta operasionalisasi Anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) dalam sistem hukum.
Bahkan hingga saat ini, tidak ada aturan pelaksana berkaitan dengan implementasi Pasal 66.
Kepolisian sebagai APH yang pertama sekali bersentuhan dengan SLAPP tidak memiliki kebijakan yang menjadi payung hukum perlindungan perempuan pembela HAM dan lingkungan.
Kedua, secara struktur hukum, tidak banyak APH yang memiliki perspektif lingkungan dan memahami bahwa perempuan pembela HAM dan lingkungan memiliki hak imunitas. Selain itu, Kementerian/Lembaga tidak memiliki mekanisme koordinasi yang jelas terkait Anti-SLAPP, sehingga masih sangat sektoral.
Rekomendasi Perempuan Pembela HAM dan Lingkungan
Persoalan mendasar ini menjadi dasar bagi perempuan pembela HAM dan lingkungan merekomendasikan beberapa hal sebagai upaya memperkuat implementasi regulasi perlindungan bagi mereka, perempuan yang bergelut sebagai perempuan pembela HAM dan lingkungan.
“Terhadap kondisi memprihatinkan yang telah menimpa para perempuan pembela HAM dan lingkungan tersebut, kami (perempuan pembela HAM dan lingkungan) merekomendasikan 6 hal kepada negara,” ujar Arma.
Pertama, memastikan dan mendesak negara untuk menjalankan mandat pasal 66 UU PPLH, termasuk menyusun regulasi turunan implementasi pasal 66 UU PPLH yang berkeadilan bagi perempuan pejuang lingkungan dan HAM.
Kedua, mendorong pemerintahan ke depan untuk menjadikan agenda perlindungan perempuan pembela HAM dan pejuang lingkungan sebagai agenda prioritas negara ke depan.
Ketiga, Anti-SLAPP harus memastikan perlindungan bagi setiap orang, khususnya perempuan yang berpartisipasi dan terlibat pengambilan keputusan dalam ruang publik untuk menentukan kebijakan, hukum, politik dan model pembangunan serta perlindungan lingkungan hidup.
Keempat, mekanisme Anti-SLAPP harus memastikan adanya pemulihan bagi para perempuan pembela HAM dan lingkungan, seperti pemulihan psikologis, kerugian moral, sosial dan kerugian finansial yang diderita.
Kelima, Pemerintah segera menyusun mekanisme koordinasi yang jelas terkait Anti-SLAPP bagi seluruh K/L terkait.
Keenam, kepolisian sebagai APH yang pertama sekali bersentuhan dengan SLAPP harus memiliki kebijakan yang menjadi payung hukum perlindungan perempuan pembela HAM dan lingkungan.
Agus Guntoro