Jakarta, Kabarindonesia.co
Melalui pernyataan sikapnya, Perserikatan Solidaritas Perempuan (SP) sebagai sebuah organisasi organisasi gerakan perempuan yang 33 tahun secara konsisten memperjuangkan hak-hak perempuan di Indonesia bersikap kritis terhadap pemilihan umum (Pemilu) 2024 di Indonesia.
Arma Yanti Sanusi, Ketua Badan Eksekutif Nasional SP menyampaikan bahwa SP memantau perkembangan Pemilu 2024 ternyata jauh dari praktik-praktik demokrasi.
“Pesta demokrasi Pemilu 2024 yang menyedot anggaran hingga Rp 76 triliun, nyatanya menimbulkan banyak penyimpangan-penyimpangan sehingga jauh dari demokrasi,” kata Arma.
“Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif dan Presiden, serta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) seharusnya menjadi momentum demokrasi, tidak hanya prosedural, melainkan secara substantif menjadi ruang proses untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan yang adil, setara dan inklusif,” lanjut Arma.
Arma menilai, pemilu dan pilkada mestinya bukan sekedar ajang persaingan partai politik dan politisi untuk memperoleh atau memperluas kekuasaan, melainkan bagian dari proses pendidikan politik, sekaligus momentum untuk memilih dan memberi legitimasi untuk kepentingan rakyat yang berasaskan keadilan dan kemanusiaan serta non diskriminatif dan anti kekerasan dalam politik pemerintahan.
“Namun, fakta yang terjadi dari masa ke masa, justru menunjukkan dominasi kepentingan yang menyebabkan pemilu dan pilkada tidak lagi menjadi momentum demokrasi yang substantif, melainkan menjadi proses transaksi politik untuk kepentingan segelintir orang dan terbatas pada upaya melanggengkan kekuasaan sekelompok elit politik yang tidak berpihak pada hak-hak manusia yang adil dan beradab,” ujar Arma.
Perempuan asal Lampung ini juga menyatakan, dalam sistem politik hari ini, rakyat hanya disajikan pilihan terbatas, yang lebih mewakili kepentingan politisi dan oligarki ketimbang kepentingan rakyat, terlebih kepentingan perempuan.
Berbagai situasi ketidakadilan masih mewarnai situasi kehidupan perempuan yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Situasi ini menunjukkan bahwa kebijakan dan program yang dikelola pemerintah dan anggota legislatif masih jauh dari keberpihakan terhadap perlindungan hak dan pemenuhan kepentingan untuk kesejahteraan perempuan. Pembatasan akses dan kontrol perempuan dalam berbagai pengambilan keputusan dan pengelolaan sumber-sumber kehidupan masih dilakukan oleh negara maupun aktor non-negara.
Atas berbagai anomali demokrasi politik di Indonesia dalam pemilu 2024 tersebut, SP dengan tegas menyatakan sikap politiknya sebagai berikut:
- SP sebagai organisasi yang memegang teguh prinsip nonpartisan. Artinya bahwa SP secara tegas tidak berpihak atau mendukung salah satu partai politik ataupun kandidat Calon Presiden maupun legislatif. SP juga tidak bekerjasama dalam salah satu politik, maupun beberapa partai politik tertentu dalam bentuk pelaksanaan program, baik yang terkait peningkatan kapasitas, kampanye, dan lain sebagainya
- SP berpegang teguh untuk menolak dan menentang keras segala bentuk ataupun tindakan yang menjadikan perempuan sebagai objek/alat maupun korban dari tindakan eksploitasi dan kekerasan maupun intimidasi yang dilakukan untuk tujuan memenuhi kepentingan partai politik atau elit politik tertentu, serta menolak dan menentang apapun keputusan, maupun rancangan program yang merugikan kepentingan perempuan. Untuk itu, sikap kritis dari seluruh entitas perserikatan dalam melihat rekam jejak maupun agenda/partai politik adalah hal yang mutlak di dalam menggunakan hak pilihnya.
- Menolak politik uang dalam bentuk apapun. Praktik politik uang seringkali menegasikan kepentingan politik perempuan, dimana agenda-agenda substantif terkait demokrasi, hak asasi manusia, dan hak asasi perempuan dikalahkan dengan strategi para calon eksekutif dan calon legislatif yang memanfaatkan kebutuhan jangka pendek masyarakat. Politik uang juga akan memperkuat sifat koruptif negara yang merugikan masyarakat terlebih perempuan
- Menolak keras Politisasi Agama yang setidak-tidaknya diwujudkan dengan tidak terlibat dalam kelompok, maupun kegiatan apapun yang menggunakan politisasi agama, serta melakukan depolitisasi melalui pengorganisasian dan strategi pelaksanaan mandat lainnya. Politisasi Agama yang menguat tidak hanya berdampak dalam momentum Pemilu tapi juga berkontribusi terhadap berbagai kebijakan maupun tindakan diskriminatif yang mengatasnamakan agama.
Untuk itu, SP menyerukan dalam momentum politik 2024 kepada seluruh perempuan di Indonesia untuk bersikap kritis menentukan pilihan politiknya dengan melihat rekam jejak kandidat/partai politik yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan hak asasi perempuan, maupun cara-cara politisasi agama, serta mengutamakan agenda-agenda kepentingan perempuan dalam pilihannya.
“Perempuan Indonesia juga mesti bersikap kritis dan terus mengawal terhadap hasil pemilu 2024, termasuk agenda-agenda pemimpin terpilih ke depan,” tegas Arma.
Ibnu Khotomi