Lebong, Kabarindonesia.co
Pagi pada Jum’at (29/2/2024) belum begitu terang, Lisnawati (60) dan Mirnani (40) bergegas menyelesaikan urusan masak-memasak, membereskan rumah, dan sesekali melihat kesiapan anak mereka yang akan ke berangkat sekolah.
Seusai mengurusi sarapan dan persiapan lauk pauk makan siang, mereka berangkat area persawahan di seberang Sungai Kotok yang terletak di sisi timur pemukiman Desa Tunggang, Kecamatan Lebong Utara, Kabupaten Lebong.
Setelah melewati jalan rabat beton dan jembatan gantung atau berjalan sekitar 10-15 menit dari rumah, keduanya memasuki area persawahan dan menuju pondok masing-masing. Lahan sawah mereka letaknya memang berdekatan.
Lisnawati dan Mirnani adalah dua perempuan petani dari sekitar 15 perempuan petani Desa Tunggang yang aktif mengurusi hampir setiap proses pengelolaan sawah dalam empat tahun terakhir karena suami mereka harus mencari nafkah sebagai penambang emas rakyat.
“Suami kami, sejak wabah covid dan tekanan ekonomi terpaksa bekerja di tambang emas rakyat dalam kawasan hutan lindung. Mereka biasanya pulang sebulan sekali lalu pergi lagi,” kata Mirnani.
Tambang emas rakyat yang disebut Mirnani itu berada di Lebong Simpang dan terletak di dalam kawasan hutan lindung dan ada dalam wilayah administratif Kecamatan Lebong Selatan.
“Jarak ke tambang emas sekitar 40 kilo dari rumah kami. Jadi kalau jalan kaki setengah hari Pak,” ujar Mirnani.
Dulu memang dalam proses membajak dan perawatan penyemprotan padi dilakukan para laki-laki. Saat sulit seperti saat ini, Lisnawati tidak bisa selalu membayar upah buruh tani yang sudah mulai mahal. Sehingga banyak perempuan yang harus menggarap persawahan mereka termasuk penyemprotan baik pengendalian gulma maupun untuk membasmi ulat dan walang sangit.
Efek Pestisida
Di awal Februari 2024, Mirnani sempat sempoyongan dan muntah-muntah di pondok sawahnya setelah melakukan penyemprotan selama kurang lebih tiga jam setelah menghabiskan delapan tangki semprot pestisida untuk sawah kurang lebih 0,75 hektar.
Mirnani memang memaksa menyelesaikan pekerja penyemprotan walau matahari sudah tinggi dan angin berhembus mulai kencang. Setelah istirahat dan merebahkan tubuh di pondok, dia langsung pulang membersikan diri dan menceritakan kejadian yang dialami seusai penyemprotan pada Mur, tetangganya yang juga sering menyemprot padi sendiri seperti Mirnani.
Mur lalu menyarankan Mirnani untuk segera minum air asam atau susu. Keesokan harinya Mirnani merasakan tubuhnya mulai demam dan persendian ngilu selama tiga hari.
Anak laki-lakinya menyarankan untuk ke dokter atau Puskemas tetapi Mirnani menolak tolak dan meminta dibelikan obat pusing dan demam ke apotik.
“Setelah kejadian itu, saya selalu minta bantuan tetangga laki-laki yang sawahnya dekat sawah saya untuk menyemprot padi saya pas yang sudah tahap perkembangan dan berbunga,” ujar Mirnani.
Yang membuat miris, semua perempuan yang terlibat mengolah persawahan di Desa Tunggang, mengakui belum pernah mendapatkan penyuluhan soal tata cara pengaman diri bila melakukan penyemprotan.
“Saya ngerti sedikit-sedikit jenis dan kegunaan pestisida karena tanya sama pemilik kios pupuk dannobat-obatan pertanian,” terang Mirnani.
Oleh pemilik toko, mereka hanya dijelaskan merek dagang pestisida dan takaran komposisi yang harus digunakan bila penyemprotan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, penggunaan alat pengaman diri yang mereka pakai hanya menggunakan masker kain yang telah dipakai berulang ketika covid-19 dulu.
Tak jauh beda dengan Mirnani, ketika ngobrol dengan Lisnawati, perempuan lanjut usia itu sesekali mengucek-ucek matanya.
“Sering perih kalau selesai nyemprot,” keluh Lisnawati.
Kemungkinan Lisnawati mengalami iritasi ringan pada mata. Sebab, semua mereka tidak menggunakan kaca mata pelindung saat kerja penyemprotan.
Bahaya Penyemprotan Pestisida Bagi Manusia
Pengajar di Jurusan Proteksi Tanaman Universitas Bengkulu Prof. Dr. Ir. Dwinardi Apriyanto, M.Sc, menjelaskan secara singkat bahwa keracunan pada manusia atau petani itu yang paling sering terjadi melalui udara atau pernapasan dan lewat kulit lalu masuk ke sel darah.
“Jika telah terdampak penggunaan pestisida, petani biasanya memang punya cara sendiri melakukan penanganan awal, dengan minum susu, air asam, air kelapa atau yang lain,” terang Dwinardi.
Tetapi kalau berlebihan, pestisida yang masuk dalam tubuh akan merusak paru-paru dan potensi merusak saraf manusia. Pada perempuan kemungkinan mempengaruhi sistem hormon tubuh dan sistem reproduksi.
“Pada perempuan petani tidak hanya penyadaran akan bahaya pestisida pada tubuh manusia. Tapi sangat penting mendudukkan pemahaman kalau penggunaan pestisida berlebihan atau tidak sesuai kebutuhan akan merusak struktur tanah setempat,” kata Dwinardi.
Guru Besar UNIB ini menerangkan siklus ekologi tanah terganggu dan tanah akan jadi gersang. Banyak makhluk hidup termasuk bakteri dan jamur dalam tanah yang memang dibutuhkan tanah untuk memperbaiki struktur tanah itu sendiri jadi mati.
Dampak yang lain, pestisida berlebihan atau tidak tepat waktu penggunaanya akan lebih banyak membunuh serangga dan jamur yang merupakan musuh alami dari hama pengganggu tanaman padi.
Lebih lanjut, kejadian pada petani perempuan Lebong yang mengalami keracunan ringan yang berulang menurut Dwinardi, harus segera upaya penyadaran dan pelatihan tentang pestisida, alat pelindung diri, waktu, dan takaran penggunaan pestisida.
“Kalau tidak dilakukan, risiko terpaparnya perempuan oleh pestisida akan terus berulang,” ujar Dwinardi.
Suara NGO Perempuan
Dari persektif perempuan, kasus keracunan ringan ini, menurut Sekwil Koalisi Perempuan Indonesia Bengkulu Heny Anggraini, diakibatkan beban ganda yang dipikul perempuan ketika kesulitan ekonomi dalam keluarga.
Para perempuan petani terpaksa bekerja untuk pekerjaan yang selama ini tidak pernah mereka lakukan dan tentu mereka tidak terlatih untuk melakukan hal tersebut.
“Selama ini kegiatan pertanian hanya diwakili para laki-laki. Ini salah sasaran, yang lebih miris lagi kelompok perempuan petani di Lebong belum pernah mendapat pelatihan khusus selama terbentuknya kabupaten Lebong,” ujar Heny.
Heny menyampaikan, beban ganda dan risiko bahaya pestisida harus segera diurus oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebong lewat dinas terkait.
“Ini sejalan dengan semangat percepatan pengarusutamaan gender dalam pembanguan ketahanan pangan,” tegas Heny.
Harapan Lisnawati dan Mirnani
Dibawah pondok kecil Lisnawati dan Mirnani agak tertegun dan saling memandang ketika ditanya harapan mereka ke depan.
“Kami memang ingin ada tempat bertanya dan mendapat bimbingan soal bertani, cara penyerobotan yang baik. Merawat padi sehingga hasil sawah bisa lebih bertambah. Kami memang harus bekerja, tidak cukup hanya mengandalkan pendapatan suami dari tambang rakyat yang juga tak pasti,” ucap Lisnawati.
Pengalaman pembelajaran perempuan petani Desa Tunggang ini pasti terjadi juga pada desa lain di Kabupaten Lebong, bahkan bisa jadi di seluruh Indonesia. Mereka perempuan yang memperjuangkan pangan keluarga tapi mempertaruhkan kesehatan bahkan nyawa mereka.
“Kami, menaruh harapan ada hamparan tanaman padi yang kami tanam. Kami berdoa dan berharap padi kami bisa mencukupi cadangan pangan selama setahun dan kalau ada sisa, bisa juga dijual kebutuhan Idul Fitri tahun ini,” harap Mirnani.
N. Sastro