Oleh: Hidayati (Pemimpin Umum Kabar Indonesia)
Pengertian Demokrasi, Pemilu, dan Keadilan
Istilah demokrasi telah banyak digunakan untuk menunjukkan sistem politik yang ada di beberapa negara dan kota Yunani, terutama di Athena.
Demokrasi sendiri merupakan sistem pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat, dimana setiap orang dapat mengambil bagian perihal keputusan yang akan mempengaruhi kehidupannya dalam bernegara.
Dalam prakteknya, demokrasi dihampir seluruh negara yang mengaku menjalankan sistem demokrasi dipraktekkan dalam pemilihan umum (pemilu).
Anissa Medina Sari dalam jurnal Fakultas Hukum (2023) menuliskan pemilu dimaknai sebagai proses demokratis untuk memilih wakil rakyat atau pejabat pemerintahan secara langsung oleh warga negara suatu negara. Pemilihan Umum merupakan mekanisme penting dalam sistem demokrasi modern yang memungkinkan rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan pemimpin dan kebijakan negara.
Wikipedia menyebutkan keadilan adalah kondisi yang bersifat adil terhadap suatu sifat, perbuatan maupun perlakuan terhadap sesuatu hal. Dalam arti yang lebih luas Keadilan ialah konsep bahwa individu harus diberlakukan dengan cara yang setara tidak memihak dan tidak sewenang-wenang.
Sejarah Pemilu di Indonesia
Dalam kesejarahannya, pemilu di Indonesia bisa dibagi dalam beberapa periodesasi. Mengutip dari kpu.go.id, terdapat tiga periodesasi pemilu di Indonesia. Zaman Sukarno, zaman Suharto, dan zaman reformasi.
Pada zaman Sukarno, pemilu hanya diadakan sekali pada tahun 1955. Pemilu ini juga merupakan Pemilu Nasional pertama di Indonesia. Dilaksanakan untuk memilih anggota DPR (29 September 1955) dan anggota
Konstituante (25 Desember 1955). Tapi, saat Sukarno mendeklarasikan Demokrasi Terpimpin, maka ini jadi lonceng kematian demokrasi dan pemilu di Indonesia saat itu.
Pada 5 Juli 1959 Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden. UUD 1945 dinyatakan sebagai Dasar Negara. Konstituante dan DPR hasil Pemilu dibubarkan diganti dengan DPR-GR. Kabinet diganti dengan Kabinet Gotong Royong. Ketua DPR, MPR, BPK dan MA diangkat sebagai pembantu Soekarno dengan jabatan menteri. Puncak kerapuhan politik Indonesia terjadi ketika MPRS menolak Pidato Presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara pada Sidang Umum Ke-IV tanggal 22 Juni 1966.
Periode Suharto yang mulanya diharapkan membawa angin segar terhadap kehidupan demokrasi di Indonesia melalui pemilu yang jujur dan adil lambat laun berubah seratus delapan puluh derajat. Sampai kejatuhannya pada 21 Mei 1998, rakyat Indonesia menyaksikan otoritarinisme sistemik yang memberangus demokrasi.
Pasca pemerintahan Presiden Soekarno, MPRS menetapkan Soeharto sebagai Pejabat Presiden pada 12 Maret 1967 dan tanggal 27 Maret 1968 Soeharto ditetapkan menjadi Presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (TAP MPRS No. XLIV/MPRS/1968). Selama 32 tahun Presiden Soeharto memimpin bangsa Indonesia, telah terjadi enam kali penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II. Pada era ini Presiden dipilih oleh MPR. Rakyat sama sekali dibungkam dan dipasung hak-hak politiknya. Di zaman ini, demokrasi hanya jadi jargon bahkan tabu untuk dibicarakan.
Gedoran rakyat Indonesia terhadap berpuluh tahun pemberangusan demokrasi menemukan hasil pada tahun 1999. Tahun-tahun setelahnya dikenal dengan periode reformasi.
Pasca pemerintahan Presiden Soeharto, Wakil Presiden BJ. Habibie dilantik menjadi Presiden RI pada tahun 1998. Pada masa pemerintahan BJ. Habibie, pemilu yang semula diagendakan tahun 2002 dipercepat pelaksanaannya menjadi tahun 1999.
Pada pemilu tahun 1999 yang merupakan pemilu pertama dinmasa reformasi, hak-hak demokrasi rakyat mulai terbuka lebar. Hanya saja presiden dan wakil presiden masih dipilih oleh MPR RI.
Transformasi pemilu di masa reformasi selanjutnya dilakukan pada tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019. Ada banyak hal yang berubah dalam wajah demokrasi dan pemilu di Indonesia.
Dalam pemilu tahun 2004 untuk pertama kalinya terdapat penyelenggara pemilu yang bersifat nasional. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah dibangun dan difungsikan dengan segala kelebihan dan kelemahannya.
Pada tahun-tahun berikutnya, sistem pemilihan proporsional tertup diubah menjadi sistem proporsional terbuka. Terdapat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mewakili suara rakyat di Senayan. Dengan demikian, demokrasi dan pemilu di Indonesia bisa dianggap semakin berkualitas.
Harapan
Berkembangnya kualitas demokrasi dan pemilu di Indonesia tidak serta merta membuat demokrasi dan pemilu di Indonesia jadi sempurna dan berkeadilan. Di banyak sisi masih ada banyak kekurangan. Misalnya, praktek politik uang dan kualitas wakil rakyat yang belum sesuai dengan harapan. Sederhananya, pemilu di Indonesia masih perlu berproses untuk mencapai taraf yang menjamin sistem pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat, hanya bisa diwujudkan melalui memilih wakil rakyat atau pejabat pemerintahan secara langsung oleh warga negara suatu negara melalui pemilu yang setara tidak memihak dan tidak sewenang-wenang.
Di Indonesia hal tersebut berusaha diperbaiki secara terus menerus. Perihal Pemilu di Indonesia kini diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017. Pasal 1 angka 1 UU itu memuat tentang pengertian Pemilu.
“Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” demikian bunyi Pasal tersebut.
Ke depan, diharapkan pemilu benar-bemar menjadi sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpinnya yang berkualitas sesuai dengan asas yang berlaku. Pemilu harus menjadi salah satu sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Sebagaimana Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Semoga.