Dilansir dari CNBC, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengatakan, sebanyak 560.000 hektare (ha) areal pertanian terancam mengalami kekeringan ekstrem akibat El Nino. Yaitu, fenomena iklim yang bisa memicu penurunan curah hujan dan anomali kenaikan suhu permukaan.
Seperti diketahui, BMKG sebelumnya sudah memperingatkan fenomena El Nino akan menyebabkan musim kemarau tahun ini lebih ekstrem dibandingkan musim kemarau tahun 2020, 2021, dan 2022.
Akibat El Nino itu, kata Syahrul, produksi beras Indonesia akan terkena dampak, sekitar 300 ribu sampai 1,2 juta ton.
Artinya, berdasarkan prediksi global International Research Institute (IRI) for Climate and Society dan juga BMKG bahwa saat ini telah terjadi penguatan intensitas El Nino dengan perkiraan puncak El Nino terjadi pada Agustus 2023 dan berdampak menurunnya produksi dan ketersediaan pangan sebesar 20-30%.
Sementara itu di Lampung, Pemprov Lampung melalui rilis Dinas Kominfotik menanggapi arahan Menteri Pertanian RI, Gubernur Arinal Djunaidi melaporkan bahwa berdasarkan hasil analisis data kekeringan tanaman padi di Provinsi Lampung tahun 2023 relatif cukup aman.
Dalam mengantisipasi perubahan iklim ekstrim El Nino, Gubernur Lampung melaporkan bahwa pemerintah daerah akan menyediakan fasilitas penunjang di kabupaten-kabupaten yang masih belum memiliki fasilitas yang memadai.
El Nino dan dampak besarnya terhadap ketersediaan pangan di Lampung juga mendapatkan perhatian khusus dari ormas Serikat Petani Indonesia (SPI) Lampung.
Secara kritis, Ketua Badan Pengurus Wilayah (BPW) SPI Provinsi Lampung, Muhlasin, mengupas secara kritis dampak El Nino terhadap ketersediaan pangan dan masalah-masalah yang dihadapi petani di Lampung. Dalam suasana peringatan Hari Tani Nasional Tahun 2023, Kabar Indonesia berkesempatan melakukan wawancara khusus dikediamannya. Berikut wawancara lengkapnya.
Kabar Indonesia:
Saat ini Indonesia, khususnya Lampung berhadapan dengan El Nino, menurut Bung Muhlasin, apa dampaknya bagi sektor pertanian pangan di Lampung?
Muhlasin:
El Nino di Indonesia secara nyata berdampak pada krisis pangan. Karena kemarau berkepanjangan dan panas ekstrem ini menyebabkan pasokan air untuk lahan dan tanaman pangan menjadi nihil. Jangankan panen, menanampun petani tak bisa.
Kabar Indonesia:
Berhadapan dengan krisis pangan tersebut, menurut Bung, apakah Pemerintah Provinsi Lampung dan warga Lampung siap menghadapinya?
Muhlasin:
Saya perhatikan Pemprov dan warga Lampung tak siap untuk hadapi apabila krisis pangan benar-benar terjadi. Tidak siap karena tidak ada hal-hal atau program khusus yang dilakukan untuk menghadapi krisis pangan. Khusus petaninya, petani Lampung sekarang jujur saya katakan tak siap hadapi krisis pangan. Perubahan perilaku bertani dan menyimpan hasil pertanian kini berubah total. Kalau dulu petani lepas panen selalu simpan hasil panen di lumbung. Kalau sekarang tidak sama sekali. Selain lumbungnya sudah tidak ada, mereka juga memilih menjual habis hasil panennya.
Kabar Indonesia:
Bukankah di Lampung Program Kartu Petani Berjaya efektif mengatasi kebutuhan petani dan ancaman krisis pangan akibat El Nino sekarang?
Muhlasin:
Kartu Petani Berjaya (KPB) seharusnya bisa bantu petani. Itu secara teori. Tapi dalam prakteknya hampir tidak menyentuh petani. Kenapa? Karena Kartu Petani Berjaya ini sosialisasinya tidak efektif, pelaksanaannya tidak efektif, dan pencairannya juga tidak efektif. Saya perhatikan Program Kartu Petanj Berjaya akhirnya cuma jadi program politik semata.
Kabar Indonesia:
Selain Kartu Petani Berjaya, apakah Pemerintah Pusat dan Pemprov Lampung juga punya program lain untuk mengatasi krisis pangan?
Muhlasin:
Ada. Program besarnya itu Food Estate. Rencananya akan dibangun Pemerintah Pusat di Lampung Barat, Pesisir Barat, dan Tanggamus. Tapi sekali lagi, saya ragu program ini akan berhasil. Kenapa? Pertama sudah ada contoh di beberapa tempat gagal. Di Sumatera Utara dan Papua gagal. Bahkan mangkrak. Saya tidak tahu masalahnya detil. Setahu saya, produksi pangan secara massal akan menimbulkan masalah baru. Penggundulan hutan, penyerobotan lahan, penggunaan pestisida dan herbisida yang tinggi. Satu masalah lagi, dengan produksi tanaman pangan secara massal dan monokultur malah akan menyebabkan akumulasi hama dan penyakit.
Kabar Indonesia:
Bukannya Food Estate bisa jadi solusi krisis pangan?
Muhlasin:
Tidak akanlah. Food Estate tidak akan jadi solusi. Solusi sebenarnya itu dengan mengefetifkan dan memberdayakan petani dengan baik. Walaupun lahan mereka sempit, maksimalkan budidayanya. Bantu petaninya maksimal.
Kabar Indonesia:
Hari ini, adalah Hari Tani Nasional. Tapi di lapangan, kita masih saksikan konflik-konflik agraria antara petani, modal, dan negara terus terjadi. Terbaru ada konflik HGU di Kecamatan Padang Ratu dan Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah. Bagaimana tanggapan Bung soal ini?
Muhlasin:
Hari Tani Nasional Tahun 2023 harusnya bisa jadi momentum pergerakan petani. Karena sampai saat ini Reforma Agraria itu eee…belum tuntas. Malah makin bertambah konflik agrarianya. Sertifikasi kepemilikan lahan petani itu bukan Reforma Agraria sesungguhnya. Karena Reforma Agraria yang sesungguhnya bisa jadi salah satu jalan keluar dari ancaman krisis pangan.
Kabar Indonesia:
Sebagai seorang penggiat organisasi tani, menurut Bung apa masalah-masalah mendasar yang dihadapi oleh petani di Lampung?
Muhlasin:
Masalah pertama dan utama itu sempitnya lahan pertanian yang dimiliki petani. Selanjutnya masalah mulai dari produksi hingga pasca produksi. Masalah mafia pupuk yang menyebabkan kelangkaan pupuk, penggunaan pestisida dan herbisida yang tak terkontrol, belum maksimalnya tenaga penyuluh lapangan yang terjebak diuruskan sertifikasi kelompok tani. Jadi tugas PPL yang harusnya lakukan penyuluhan dan pendamping petani malah tidak berjalan. Satu lagi, harga jual hasil panen yang tidak stabil. Semua ini hantu untuk petani.
Kabar Indonesia:
Atas semua persoalan di atas, apa saran konstruktif Bung bagi Pemprov Lampung?
Muhlasin:
Sumber pangan itu bukan cuma berasm Jadi di Lampung bisa dikembangkan sumber pangan lain selain beras. Lakukan pengembangan sumber pangan lokal. Bukan malah menghilangkan sumber pangan lokal dengan produksi massal benih hibrida. Kemudian kita harus membuat lumbung-lumbung pangan bersama komunitas petani di desa-desa. Dengan demikian sumber pangan rakyat terjamin. Juga permudah akses permodalan petani. Jangan seperti Kartu Petani Berjaya yang sulit diakses petani dan belum mengena pada petani kecil. Bolehlah dicek berapa persen petani di Lampung yang bisa dapatkan akses Kartu Petani Berjaya ini.
Kabar Indonesia:
Terakhir, biasanyakan SPI selalu lakukan unjuk rasa memperjuangkan hak-hak petani pada tiap 24 September tiap tahunnya. Kenapa tahun tidak dilakukan?
Muhlasin:
Kita memang tidak lakukan aksi massa tahun ini. Tapi kita akan diskusi HTN di Pekon Kresnomulyo, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Pringsewu, pada Rabu (27/09/2023) malam.