Palembang – Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera Selatan terulang lagi tahun ini. Fenomena El Nino memperparah kekeringan dan menjadi ancaman bagi maraknya karhutla, terutama di lahan gambut. Hal tersebut tentu mempengaruhi kulitas udara dan Kesehatan masyarakat.
Dalam siaran persnya pada Jum’at (22/9/2023) Ketua Perhimpunan Anak Bangsa (PAB) Sumatera Selatan, Riza Toni Siahaan mengatakan, “Tercatat mulai 1 September 2023, kualitas udara di Palembang berstatus Tidak Sehat. Bahkan terpantau beberapa hari status udara Palembang menjadi Sangat Tidak Sehat, terparah secara nasional. Secara umum, sampai dengan tanggal 20 September, kualitas udara Palembang Sangat Tidak Sehat dan menempati peringkat 3 besar nasional dengan kualitas udara terburuk.”

Toni juga mengatakan indikasi kuat sangat tidak sehatnya kualitas udara di Palembang disebabkan oleh maraknya karhutla di bagian selatan dan tenggara Kota Palembang, seperti Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Merujuk pada pantauan hotspot oleh Hutan Kita Institute (HaKI), pada periode 1-20 September 2023 terdata 958 titik hotspot di Sumatera Selatan. Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) menjadi kabupaten penyumbang Hotspot terbanyak, yakni 65% atau 621 titik. Parahnya, 55% atau 529 titik hotspot berada di lahan gambut Sumatera Selatan.
Dari karhutla di Sumsel separuh lebihnya terjadi dilahan gambut. Kebakaran di lahan gambut sulit dipadamkan. Karena gambut bahan sisa tumbuhan sampai bawah permukaan tanah, jadi kalau gambut terbakar api akan menjalar dibawah permukaan tanah yang sulit dideteksi dan mengeluarkan banyak asap.
Kejadian karhutla semestinya tidak berulang setiap tahun, apalagi yang terjadi di lahan gambut. Karena pengalaman tahun-tahun sebelumnya, dan perkiraan gambut yang rentan terbakar sudah dapat diketahui dari jauh-jauh hari.
Apalagi banyak hotspot di lahan gambut yang terpetakan di dalam konsesi perkebunan dan kehutanan. Bahkan firespot juga banyak di konsesi, ini sudah jelas menjadi tanggung jawab pemegang izin konsesi untuk menjaga lahan konsesi mereka.
Kebakaran di lahan gambut perusahaan memiliki kecendrungan berulang. Data Pantau Gambut menunjukan pada tahun 2015-2020 sekitar 30% karhutla terjadi pada lahan gambut dalam konsesi. Bahkan pada 2016-2017 mencapai 50%.
Sedangkan di Sumsel sendiri, menurut pantauan hotspot HaKI, karhutla pada periode 1-20 September 2023 sudah mencatat 958 titik hotspot yang 55% nya di lahan gambut dan 45% nya dalam konsesi perkebunan dan kehutanan.
Atas data karhutla di atas, Toni menyampaikan bahwa konsesi perkebunan dan kehutanan paling bertanggungjawab terhadap lahan konsesinya apabila terjadi karhutla. Apalagi di lahan gambut, sesuai regulasi perusahaan perkebunan dan kehutanan juga berkewajiban menjaga ground level water atau tinggi muka air tanah kurang dari 40 centimeter.
Dengan terbakarnya lahan gambut di perusahaan terindikasi tinggi air muka tanah pada lahan gambut tidak terjaga kurang dari 40 cm. Dengan kondisi ini lahan gambut akan menjadi sangat rentan untuk terbakar dan akan sulit dipadamkan.
“Temuan ini harus segera ditindaklanjuti oleh pihak berwenang, seperti Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan juga asosiasi perkebunan dengan melakukan audit kepatuhan dan kesiapan sarana prasarana pencegahan dan penanggulangan karhutla. Jadi tidak sekedar wacana dan pernyataan siap saja. Apabila sudah terjadi Karhutla dalam konsesi seperti yang terjadi sekarang ini di Sumsel, tentu perlu investigasi dan sanksi administrasi kepada perusahaan yang melanggar,” tegas Toni.
Abdul Haris Alamsyah






